avalanche consensus

Trilema Kripto Hancur: Surat Kaleng ‘Team Rocket’ yang Menyelamatkan Kita dari Crypto Winter

Penulis: Anonim (Mewakili kita semua yang ‘nyangkut’ di 2018)

PROLOG: Raksasa Merah Hari Ini (The Hook)

Lo liat kan hari ini?

Di saat para pesaing Layer-1 masih sibuk mengurus kemacetan di jalan tol mereka, Avalanche sudah terbang ke bulan. Subnet Avalanche dipakai bank-bank Wall Street. Transaksinya instan. Gas fee-nya nyaris nggak berasa. Ini adalah solusi nyata untuk masalah yang bikin developer Ethereum pusing tujuh keliling selama bertahun-tahun.

Mereka menyebutnya Avalanche. The red coin. Raksasa Layer 1 yang lahir bukan dari hype, tapi dari matematika yang menjengkelkan.

Di saat semua orang cuma bisa teriak “Skalabilitas!”, Avalanche datang dan bilang: “Kami punya jalan raya tol tak terbatas, dan kami berani kasih finalitas di bawah satu detik.” Keren? Banget. Lo mungkin berpikir ini keajaiban teknologi yang muncul dari uang investor gede atau marketing campaign yang gila.

Tunggu dulu.

Kisah monster merah ini jauh lebih kelam, Bro. Jauh lebih raw dan menyakitkan. Kisah ini tidak dimulai dari kantor mewah di New York, melainkan dari sebuah keputusasaan kolektif, sarkasme, dan secarik kertas putih anonim yang diunggah ke sudut gelap internet.

Kita harus kembali. Kita harus kembali ke titik nadir industri kripto. Titik di mana lo mulai percaya kalau semua ini hanyalah omong kosong.

Tarik napas panjang. Tahan. Hembuskan. Sekarang, ikut gw. Kita balik ke Mei 2018.

Bagian 1: Hangover Terbesar dalam Sejarah (The Crypto Winter)

Mei 2018.

Kalau lo belum masuk ke dunia crypto saat itu, bersyukurlah. Serius, sujud syukur sekarang. Karena buat kita yang ada di sana, bulan-bulan itu rasanya kayak bangun tidur setelah pesta paling liar seumur hidup, tapi kepala lo mau pecah, dompet lo hilang, dan rumah lo kebakar setengah.

Kita baru aja lewatin 2017. Tahun di mana tukang ojek sampai nenek-nenek di warung ngomongin Bitcoin. Tahun di mana lo ngerasa jadi jenius finansial cuma karena beli koin gambar anjing atau proyek antah berantah yang whitepaper-nya cuma dua lembar hasil copas. Kita semua mabuk. Mabuk cuan, mabuk harapan, mabuk janji manis teknologi yang katanya bakal “mengubah dunia”.

Tapi hukum alam itu brengsek, Bro. Apa yang naik terlalu cepat, bakal jatuh lebih sakit.

Dan bener aja. Awal 2018, gravitasi mulai bekerja. Bitcoin terjun bebas tanpa payung terjun. Ethereum ikut nyungsep. Altcoin? Jangan tanya, hancur lebur jadi debu. Kita masuk ke fase yang orang-orang sebut “Crypto Winter”. Dingin. Sepi. Menyakitkan.

Grup Telegram yang tadinya isinya meme “Lambo” dan “To The Moon”, tiba-tiba berubah jadi kuburan massal. Isinya cuma orang marah-marah, orang depresi, atau scammer yang nyoba nipu sisa-sisa receh terakhir lo. Lo buka wallet, isinya merah semua. Minus 80%, minus 90%. Lo ngerasa bego. Lo ngerasa ditipu.

Tapi, tau nggak apa yang paling bikin sakit hati? Bukan cuma soal duit yang hilang.

Yang paling bikin sakit hati adalah realita yang menampar muka kita bolak-balik: Teknologinya ternyata sampah.

Ya, gw bilang sampah. Kasar? Biarin. Itu faktanya saat itu.

Kita teriak-teriak soal “Desentralisasi” dan “Masa Depan Keuangan”, tapi buat ngirim satu transaksi aja butuh waktu 1 jam. Lo mau beli kopi pake Bitcoin? Keburu kopinya jadi es batu sebelum transaksinya confirmed. Ethereum? Hah, jangan harap. Begitu ada satu aplikasi kucing-kucingan (CryptoKitties) viral dikit, satu jaringan macet total. Gas fee-nya mahal gila, lebih mahal dari harga barang yang lo beli.

Kita sadar kalau kita lagi naik mobil F1 yang mesinnya mesin jahit. Keren di luar, tapi mogok kalau dipake ngebut.

Para developer di Silicon Valley sampai basement di Jakarta garuk-garuk kepala. Mereka nyebut ini “The Scalability Trilemma”. Sebuah kutukan matematika yang bilang:

“Hei manusia serakah, lo cuma bisa pilih dua: Aman, Terdesentralisasi, atau Cepat. Nggak bisa tiga-tiganya. Makan tuh mimpi.”Image of Trilema Skalabilitas Blockchain

Kita butuh keajaiban. Tapi di Mei 2018, keajaiban itu barang langka. Yang ada cuma shitcoin baru yang janji manis terus rugpull. Kita udah apatis. Kita udah nggak percaya lagi sama “The Next Bitcoin”.

Sampai akhirnya… sesuatu yang aneh terjadi di sudut gelap internet.

Bagian 2: Siapa Pahlawan Kesiangan Ini?

Tanggal 16 Mei 2018. Catat tanggal itu. Kalau ini film sejarah, ini adalah momen di mana alien mendarat tapi nggak ada yang sadar.

Di tengah keheningan dan keputusasaan itu, seseorang—atau sekolompok orang—mengunggah sebuah file ke IPFS (InterPlanetary File System). Buat lo yang nggak tau, IPFS itu kayak gudang data anti-sensor, tempat di mana hal-hal yang nggak bisa dihapus pemerintah disimpan.

File itu adalah sebuah makalah akademis. Whitepaper.

Judulnya? “Snowflake to Avalanche: A Novel Metastable Consensus Protocol Family for Cryptocurrencies.”

Panjang. Ribet. Membosankan. Khas akademisi banget.

Tapi, ada satu hal yang bikin siapa pun yang membacanya langsung keselek kopi mereka. Liat nama penulisnya. Biasanya, di situ tertulis nama profesor dari MIT, Stanford, atau developer terkenal kayak Vitalik Buterin.

Tapi di kertas ini, nama penulisnya cuma satu:

“Team Rocket”.

What the hell?

Gw serius. Team Rocket.

Lo bayangin. Di saat industri keuangan lagi hancur lebur, di saat miliaran dolar menguap, solusi penyelamatnya datang dari orang yang namain dirinya kayak penjahat kartun Pokémon? Jessie? James? Meowth? Ini bercandaan macam apa?

Reaksi pertama komunitas jelas: Sarkasme.

“Ah, palingan gembel mana lagi nih yang mau bikin koin micin.”

“Team Rocket? Mau nyuri Pikachu atau mau nyuri Bitcoin gw?”

Forum-forum kayak Reddit dan BitcoinTalk mulai rame, tapi bukan karena kagum, melainkan karena bingung. Ini orang jenius atau orang gila? Kalau mereka beneran jago, kenapa sembunyi? Kenapa pake nama konyol? Apa mereka takut diburu pemerintah? Atau mereka cuma troll internet yang lagi gabut?

Tapi, ada segelintir orang… segelintir orang yang bener-bener ngerti coding dan matematika tingkat dewa, yang iseng ngebuka isi makalah itu. Mereka baca abstraknya. Mereka baca rumus-rumusnya.

Dan rahang mereka jatuh ke lantai.

Karena di balik nama konyol itu, tersimpan sebuah bom atom matematis yang siap meledakkan status quo. Team Rocket nggak lagi bercanda. Mereka baru saja memecahkan teka-teki yang bikin Satoshi Nakamoto dan Vitalik Buterin pusing selama bertahun-tahun.

Bagian 3: Runtuhnya Berhala Lama (The Gossip Protocol)

Biar gw jelasin kenapa kertas “Team Rocket” ini gila, tanpa bikin otak lo meledak pake rumus aljabar.

Selama 40 tahun terakhir, dunia komputer cuma punya dua cara buat setuju (konsensus):

  1. Cara Klasik (1980-an): Ini cara lama. Semua komputer harus saling lapor satu sama lain. “Eh, si A bayar si B, lo setuju gak? Oke, lapor ke C, lapor ke D.” Ini aman, cepet, tapi nggak bisa gede. Semakin banyak orang yang ikut, semakin lemot. Ini teknologi yang dipake Google atau Facebook. Ada bosnya. Ada pusatnya.
  2. Cara Nakamoto (2009): Ini cara Bitcoin. “Siapa yang paling kuat nambang, dia yang nentuin transaksi.” Ini bebas bos (desentralisasi), aman banget, tapi boros energi dan lambat. Lo harus nunggu 10 menit sampai 1 jam buat mastiin duit lo nyampe.

Team Rocket datang dan bilang: “Kalian semua kuno. Cara kalian salah.”

Mereka ngenalin cara ketiga. Keluarga Protokol Snow.

Bayangin lo lagi di konser musik rock. Ada stadion penuh ribuan orang.

Kalau pake cara Klasik, lo harus nanya satu-satu ke ribuan orang itu: “Lagunya bagus gak?” Keburu konsernya bubar, Bro.

Kalau pake cara Nakamoto, lo harus nungguin satu orang teriak paling kenceng buat mutusin lagunya bagus atau enggak. Lama.

Cara Avalanche (Team Rocket) itu beda. Ini kayak Gosip. Atau Metastabilitas.

Lo tanya ke 5 orang di sekitar lo: “Lagunya bagus gak?”

Mereka jawab “Bagus”.

Terus 5 orang itu nanya ke 5 orang lain di sekitarnya.

Terus yang lain nanya lagi.

Dalam hitungan detik, gelombang persetujuan menyebar ke seluruh stadion. Satu stadion setuju kalau lagunya bagus, tanpa perlu nanya ke semua orang satu-satu, dan tanpa perlu nunggu satu pemimpin teriak.

Efeknya?

Finalitas Instan. Di bawah 1 detik.

Lo klik “Kirim”, dan BAM! Selesai. Nggak bisa dibatalin. Nggak perlu nunggu konfirmasi blok kayak orang bego di depan ATM.

Dan yang paling gila? Ini bisa nampung jutaan orang sekaligus tanpa jadi lemot. Trilemma itu? Broken. Dihancurkan berkeping-keping sama sekumpulan anonim bernama Team Rocket.

Bagian 4: Menunggu Sang Juru Selamat

Tapi, sehebat apa pun idenya, sebuah PDF di internet nggak bisa mengubah dunia kalau nggak ada yang build. Kode di kertas nggak bisa jalanin transaksi.

Mei berganti Juni. Juni berganti Juli.

Paper Team Rocket itu mulai berdebu digital. Orang-orang mulai lupa. Hype-nya tenggelam oleh berita harga Bitcoin yang makin nyungsep ke angka $3.000.

Kita semua balik lagi ke rutinitas menyedihkan: hodl koin sampah sambil berdoa ada pump.

Rasanya kayak lo nemu peta harta karun, tapi lo nggak punya kapal buat ke sana. Peta itu cuma jadi hiasan dinding.

Dunia butuh seseorang yang nggak cuma pinter, tapi juga cukup gila dan punya nyali buat mengambil tongkat estafet dari Team Rocket. Seseorang yang punya reputasi, bukan sekadar akun anonim.

Dan untungnya, takdir itu lucu.

Di sebuah ruangan berantakan penuh buku di Universitas Cornell, New York, ada seorang profesor yang reputasinya udah legendaris di kalangan cypherpunk. Namanya Emin Gün Sirer.

Orang ini bukan akademisi biasa yang cuma duduk di menara gading. Dia ini OG (Original Gangster)-nya crypto. Dia udah bikin mata uang digital bernama “Karma” tahun 2003—jauh sebelum Satoshi bikin Bitcoin. Dia udah sering ngebongkar cacatnya Bitcoin dan Ethereum sebelum orang lain sadar.

Emin membaca makalah Team Rocket.

Dia membacanya lagi.

Dan lagi.

Dia sadar. Ini bukan scam. Ini bukan vaporware.

Ini adalah kepingan puzzle terakhir yang dia cari seumur hidupnya.

Emin memanggil dua murid jeniusnya, Kevin Sekniqi dan Maofan “Ted” Yin.

“Lihat ini,” mungkin itu yang dia bilang. “Kita nggak bisa ngebiarin ini cuma jadi teori. Kita harus bikin ini nyata. Kita harus bikin ini jadi mesin pembunuh lambatnya blockchain.”

Saat itu, mereka belum tau kalau keputusan itu bakal melahirkan monster merah yang kita kenal sekarang. Mereka belum tau kalau mereka bakal menantang hegemoni Ethereum. Mereka cuma tau satu hal:

Revolusi baru saja dimulai dari sebuah PDF iseng.

(Bersambung ke Kronik 2…)

Gimana rasanya balik ke 2018? Sesak kan? Untungnya, Profesor Sirer dan timnya hadir.

Di episode selanjutnya, kita bakal liat gimana Emin Gün Sirer keluar dari kandang akademisnya dan mulai membangun “Ava Labs”. Dari teori di kertas, jadi kode yang bakal bikin developer Ethereum ketar-ketir.

Jangan ke mana-mana. Simpen private key lo baik-baik. Perjalanan kita masih panjang.

#AvalancheSaga #TheRedCoin #TeamRocket #CryptoHistory #LongRead

Leave a Reply